Ridlolah Menjadi Makhluq dan Jangan Menuhankan Nafsu

Sudah menjadi kesepakatan para ulama’ tasawuf (shalih), maqom (kedudukan) ridlo merupakan salah satu derajat mulia yang dimiliki para kekasih Allah swt. Pengertian ridlo sendiri adalah Qobala taqdiirollahi bilkhoolisil qolbi yakni menerima kepastian takdir Allah swt dengan setulus hati. Sekilas perkara tersebut terlihat sulit di aplikasikan pada rutinitas hidup, namun bila hati tidak lagi terpedaya syahwat dunia tentu menerima kepastian takdir Allah swt dengan setulus hati akan terbukti lebih nikmat dibanding apapun, karena bagi para insan kamil mengerti hidup dan matinya tidaklah memiliki tujuan akhir terkecuali hanya dipersembahkan kepada Tuhan semesta alam (Lillahirobbil’alamin).

Sebagian ahli mukasyafah yang memiliki kemampuan bathiniyah dapat menyaksikan sifat kebesaran Allah swt dalam Hujjah-nya menerangkan ar-ridlo miftahur-ridlo, ridlonya manusia terhadap takdir Allah swt akan menjadi pintu ridlonya Allah swt terhadap manusia tersebut, sedang ridlo Allah swt sebenarnya kenikmatan puncak dari sekian banyak wujud nikmat yang ada di muka bumi sebagaimana dijelaskan dalam kitabulloh (QS : At Taubat – 72). Dan semua itu tidak bisa diraih sebelum para salik mampu ridlo / menerima dengan setulus hati kepastian takdir (keputusan) Allah swt atas dirinya.

Eksistensi manusia dimuka bumi sesungguhnya adalah makhluq ciptaan Allah swt, secara subtansial takdir sebagai makhluq tiada lain adalah mengemban tugas mengabdikan dzohir maupun bathinnya hanya kepada sang Kholiq (QS : Adz-dzariyat / 56). Kata mengabdikan diri (Abidin) dalam pengertiannya menyerahkan aktifitas hidup kepada aturan – aturan sang Kholiq secara totalitas, kesemuanya itu di apresiasikan dalam wujud iman dan taqwa, otomatis ketika sang Kholiq memberi perintah tentu sebagai makhluq-Nya wajib ridlo tatkala menjalankannya, pada saat sang Kholiq melarang sudah barang tentu dengan setulus hati tidak melanggar-Nya dan begitulah kondisi manusia yang ridlo ber-Tuhan kepada Allah swt. Karena dalam qodratnya memang harus taat serta patuh kepada Penciptanya. Namun yang terjadi justru sebaliknya, banyak sekali diantara kita menolak qodratnya sebagai makhluq hingga tidak lagi dapat sami’na wa atho’na kepada sang Kholiq, manusia masa kini lebih ridlo kalo diperintah nafsu hingga menjadi budaknya nafsu, pada posisi tersebut bisa dibilang sama halnya telah menghambakan diri kepada nafsunya sendiri atau secara ekstrem dapat dikatakan telah menuhankan nafsu.

Serasa perlu sekali kita menengok kembali Hujjah Sokhibul Hikam Al-Imam Syekh Ibnu Atho’ilah As-Sakandari dalam kitab tasawufnya, bahwa ridlonya manusia kepada perintah nafsu akan menjadi pintu berbagai kemaksiyatan, maka tidaklah mengherankan jika semakin banyak menuruti perintah nafsu akan semakin besar pula jumlah kemaksiyatan yang diperbuat, dalam hal ini tentu tidak boleh terjadi !, setiap perintah nafsu harus diwaspadai. Karena pada dasarnya perintah nafsu akan menjerumuskan manusia pada kesesatan, terkecuali nafsu yang mendapat rahmat dari Allah swt (QS : Yusuf / 53).

Pangkal penyebab utama yang melatar belakangi kurang ridlonya manusia terhadap qodratnya, tiada lain adalah peranan nafsu jahat yang bersemayam didalam hati dalam kinerjanya selalu mengajak manusia berbuat kebathilan, pada prosesnya nafsu jahat selalu memprofokasi hati agar ridlo dengan bujukannya, efeknya hatipun menjadi mahjub (tertutup atau buta). Bila hati telah dibutakan maka manusia tersebut tidak akan bisa membedakan antara yang haq dengan yang bathil, kalo saja menurut pendapat nafsunya pantas asal sikat tanpa peduli benar atau salah, tanpa mengerti lagi halal atau haram dan itulah sebagian kecil hasil dari jebakan nafsu jahat. Bila sudah terjadi yang demikian akan terasa sulit sekali manusia berhati Mahjub (yang telah dibutakan nafsu) dapat menerima qodratnya sebagai abidin (hamba Allah swt), yang ada justru malah jadi kawulane nafsune dewe. Kasus tersebut membuktikan bahwa manusia Mahjub tidak lagi ridlo ber-Tuhan kepada Allah swt.

Maka membersihkan hati dari imprialis nafsu jahat hukumnya wajib. Hal tersebut dapat ditempuh melalui berbagai cara sebagaimana Mujadid Tasawuf Al Imam Ghozali memberikan solusi yakni dengan ber-Mujahadah maksudnya memaksimalkan pendekatan diri kepada Allah swt (taqorrub) dalam waktu yang tidak ditentukan sebagai upaya mengurangi interaksi hati pada kesenangan duniawi. Al Imam Ghozali juga berpendapat bahwasannya setiap Mujahadah yang dilaksanakan para kaum salik akan berpeluang besar baginya meraih Hidayah (petunjuk) dari Allah swt. Karena datangnya hidayah dari Allah swt akan menuntun setiap hamba pada jalan kebenaran.

Sebagaimana riwayat penyusun Ratib Al Haddad Maulana Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad, demi mencapai qodrat penghambaan yang murni kepada Allah swt, dalam sejarah mujahadahnya semasa beliau masih usia dini sepulang dari sekolah madrasah diwaktu dhuha, beliau senantiasa mendatangi beberapa masjid dikota tarim untuk melaksanakan sholat dhuha sebanyak 100 hingga 200 rakaat dalam kurun waktu bertahun - tahun, semua itu dijalankan dengan setulus hati dan sangat khusyu’, lantaran wujud ridlonya makhluq terhadap takdir Allah swt terbukti sangat nikmat ketimbang apapun yang ada di muka bumi. Tak heran bila nikmatnya ridlo (menerima dengan setulus hati) penghambaan diri kepada Allah yang dirasakan oleh Maulana Al Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad membuatnya asyik beribadah sepanjang malam tanpa tidur selama tiga puluh tahun. Pada zamannya beliau tidak hanya dikenal sebagai alim yang masyhur, akan tetapi tidak sedikit para alim khowash dikota tarim – hadromaut memberikan pernyataan bahwa beliau tergolong kekasih Allah swt dalam tingkatan yang aqtob (derajat khusus) sebagaimana yang dicerminkan dalam mujahadah - mujahadahnya.

Pertanyaannya ?, sudahkah selama ini kita yang hidup pada era penuh fitnah dan kemaksiyatan telah menjalankan mujahadah – mujahadah demi mencapai maqom ridlo terhadap takdir Allah swt, atau barangkali selama ini justru perintah nafsu jahat lebih mendominasi untuk di ikuti perintah – perintahnya !, sungguh disayangkan apabila hal tersebut terjadi, karena bagi mereka yang hatinya buta di dunia akan buta pula di akherat hingga akhirnya tersesat masuk kedalam neraka yang mengerikan. Sudah pasti bagi mereka yang terdiagnosa telah terjebak nafsu jahat, apabila nurani hatinya masih berfungsi secara aktif tentu tidak akan diam melihat kenyatan buruk itu, hingga akhirnya memberanikan diri mengadakan revolusi hidup dengan melaksanakan berbagai mujahadah – mujahadah demi mencapai kemurnian ridlo terhadap seluruh takdir Allah swt, dan pasti kesemuanya itu akan menjadi salah satu kebutuhaan pokok hidup bagi mereka yang berakal !.

Betapa indah dan nikmatnya ridlo, hamba yang ridlo dengan segala takdir Allah swt, akan menerima setulus hati setiap keputusan Allah swt, bahkan dengan penuh bahagia para salik mampu memenej ridlo semata – mata demi menggapai ridlo-Nya. Ketika di takdirkan beribadah maka dia akan beribadah, ketika diwajibkan beriman maka dia beriman, ketika diperintah bertaqwa maka dia bertaqwa, ketika dikasih rejeki yang sempit dia akan bersabar, ketika di uji menderita sakit dia akan pasrah, ketika dilimpahkan nikmat dia akan bersyukur, ketika dikasih jabatan dia akan bertanggung jawab, ketika di jadikan ulama’ dia akan murni berjuang fisabilillah, ketika dijadikan kawulo alit dia tidak ngedumel, ketika dijadikan orang terpandang dia tidak sombong, ketika dijadikan orang tua dia menyayangi anaknya, ketika dijadikan anak dia taat serta berbakti kepada orang tuanya, ketika dimusuhi dia meminta pertolongan Allah swt, ketika dikasih waktu luang dia manfaatkan dengan sebaik mungkin, ketika dipanggil adzan dia pun segera menunaikan kewajibannya, ketika diperintah apapun, ketika di jadikan siapapun serta dalam kondisi bagaimanapun sebagaimana yang ditakdirkan Allah swt, maka dia selalu mengangkat yang haq dan meninggalkan segala bentuk kebathilan dengan setulus hati. Dan kaum Muqorrobun (yakni hamba yang selalu berdekatan dengan berbagai wujud nikmat Allah swt atas sebab ridlo-Nya), tiada lain adalah para kekasih – kekasih Allah swt yang sesungguhnya mereka ketika berjalan dimuka bumi selalu beriringan dengan hidayah Allah swt. Karena pada setiap hembusan nafasnya selalu semangat bermujahadah, demi meraih ridlo-Nya baik didunia maupun di akherat.

Sedang yang belum dapat mengecap nikmatnya ridlo, sebaiknya segera intropeksi diri, perbanyaklah berdzikir, serta bersemangatlah dalam bermujahadah, khususnya waspadailah setiap perintah nafsu jahat dan kembalilah pada penghambaan diri kepada Allah swt secara murni atau tanpa tendensi apapun !. Bila saja diantara saudara – saudaraku ada yang berpendapat Mujahadah itu bid’ah semoga mereka dapat kembali kepada Aqidah Ahlussunah wa Al Jamaah melalui tarbiyah serta keberkahan doa para ahli mujahadah yang berakhlaqul karimah amin.

Habib Muhammad Asyhari Al Adzomat Khon

Pengasuh Majelis Dzikir Babul Ma’rifah

Sukoharjo – Jawa Tengah

Berdakwah Dengan Keindahan Al Qur’an

Sesungguhnya ajaran Islam diturunkan dimuka bumi salah satunya dapat memberikan solusi terbaik dalam mengatasi segala unsur permasalahan hidup, baik suatu masalah bersifat individual ataupun pada problema masyarakat sosial yang sangat luas, dari sekian banyak masalah internal keluarga hingga konflik dalam satu wilayah bangsa ataupun perpecahan antar negara akan dapat teratasi melalui sistim – sistim ajaran Islam, karena Islam dihadirkan tidak hanya menata aspek lahiriyah bathiniyah dalam hubungan teologis yang bersifat vertikal antara pemeluknya terhadap sang Kholiq saja, bahkan lebih dari itu Islam memiliki khasanah ilmu yang mengajarkan kepada pemeluknya dalam hubungan horisontal yakni antara sesama makhluq bernyawa ataupun hubungan terhadap benda mati yang wilayahnya mencakup secara menyeluruh,terpadu dan sangat luas tiada batas.

Ajaran Islam secara global salah satunya bersumber dari kitab suci Al Qur’an sebagai pedoman utama bagi para pemeluknya dalam menggali setiap kebenaran ataupun untuk mementahkan semua unsur kebathilalan yang dapat diterapkan teorinya pada rutinitas hidup. Sungguh Al Qur’an adalah kitab suci, yang dipilih namanya oleh Allah swt sebagai kitab Al – Karim (mulia lagi sempurna), betapa tidak ?, bukti yang nyata tentang kemuliaan dan kesempurnaan Al Qur’an yang turun sejak 14 abad yang silam hingga detik ini di dalam muatan ayat tersurat maupun tersirat selalu memberikan kesan yang baik bagi mereka yang mempelajarinya ataupun bagi mereka yang gemar mendengarkan lantunan ayat – ayatnya yang sarat nuansa spiritualis, hingga ratusan juta manusia dari generasi ke generasi tidak pernah bosan menguak tabir rahasia kemuliaan Al Qur’an yang ditranslit artinya dalam berbagai bahasa diseluruh penjuru bumi, sekalipun mereka tidak mengenal maksud huruf serta arti dari kandungan ayat – ayatnya tetap saja Al Qur’an dipelajari serta di baca dengan setia di bumi ini oleh pemeluk Islam dari usia dini, remaja, dewasa hingga para usia lanjut dari masa ke masa demi meraih dimensi kekuatan cahaya Al Qur’an yang selama ini terbukti sangat dahsyat manfaatnya sehingga berefek positif dalam mengarungi kehidupan ini.

Tiada satupun bacaan dimuka bumi dapat menandingi kekayaan bahasa Al-Quran, yang memiliki 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh sembilan) kosakata, dan memiliki 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas) huruf. Sungguh, tiada susunan bahasa seindah bacaan Al Qur’an, dimana didalam lafadz – lafadz Suci Al Qur’an tertata secara rapi dan jelas sekali cara - cara membacanya (mana lafadz yang harus dipanjangkan, mana bacaan yang harus dipendekkan atau lafadz yang dipertebal ataupun diperhalus, bahkan ada bacaan yang harus disamarkan dan ada pula bacaan yang wajib dihentakkan, dimana harus berhenti dan dimana harus memulai melafadzkan kembali, hingga dimana tempat yang dilarang melafadzkan sampai dimana wilayah yang baik untuk mengumandangkannya) sungguh luar biasa dan benar – benar menakjubkan. Bahkan sekalipun seluruh antariksa dilebur jadi satu untuk di jadikan tinta maka tidak akan cukup dapat memaknai keajaiban ilmu dan hikmah dari kitab suci Al Qur’an yang Al Karim.

Tidak ada satupun alasan yang tepat bagi penghuni bumi membenci atau merendahkan derajat kitab suci Al Qur’an yang Al Karim, sebagaimana komentar seorang tokoh orientalis H.A.R. Gibb dalam bukunya tertulis: "Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan 'alat' bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca (Nabi) Muhammad (Al-Quran). Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya, serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya”. Dan bila saja pada masa sekarang terjadi oknum – oknum tertentu mendustai hingga menjatuhkan martabat kemuliaan Al Qur’an kesemuanya itu terjadi lantaran para pembawa misi Al Qur’an bisa jadi kurang cakap dalam mengaplikasikan dakwahnya pada masyarakat pluralis.

Adalah seruan yang tidak dibenarkan dalam ajaran Islam apabila para pendakwah tidak lagi mencerminkan keindahan cahaya Al Qur’an yang didalamnya memuat ajaran melindungi yang lemah, mengasihi yang fakir, rukun dalam bermasyarakat, saling mengayomi, saling menyayangi, saling mencintai, serta saling menghormati kepada siapapun juga dalam segala bentuk perbedaan ras dan budaya, ataupun dalam perbedaan agama. Perkara tersebut adalah seruan Al Qur’an yang sewajibnya para mukmin yang berdakwah memegang teguh seruan itu demi terwujudnya misi ajaran Islam yang benar – benar Rahmatan lil alamin.

Sekali lagi kemuliaan Al Qur’an tidak mengajarkan membunuh, merusak, menganiaya, menghujat, menyakiti atau berbuat apapun yang menyalahi norma – norma kehidupan tentu apabila terjadi peristiwa buruk tersebut kesemuanya itu sangatlah bersebrangan dengan Al Qur’an. Setiap manusia memiliki hak pribadi menerima Islam atau tidak beriman kepada Islam karena persoalan iman atau tidaknya manusia bersifat Habluminaalloh (hubungan individu manusia kepada Allah swt), tentu tugas sebagai pendakwah sebatas menyeru dan mencegah, yang berarti tidak boleh memaksa atau memerangi melalui perilaku anarkhis.

Fahamilah seruan Al Qur’an dalam surat Al – Ashr [103] : 3, tentang kedudukan kalimah “Wa tawashau bil haq”. Hendaknya setiap pendakwah haruslah tawashau yakni saling berpesan atau saling mengajarkan ilmu sehingga dapat mebuahkan al-haq (kebenaran) yang bermanfaat. Bukan sebaliknya malah saling menyerang atau memaksakan kehendak demi menuruti perintah nafsu syetan. Yang semestinya para pendakwah dapat memahami seruan tersebut dengan arif dan bijaksana.

Maka, apabila berdakwah tanpa cahaya Al Qur’an akan berbuah kesesatan, berjihad tanpa akhlaq akan menghasilkan kerusakan, berpikir tanpa berdzikir menjadikan manusia seperti syetan, berakal namun tidak bernaluri bagaikan robot, sedangkan Ilmu tanpa Iman bagaikan mutiara ditangan pencuri, sedang Iman tanpa Ilmu ibarat mahkota diatas kepala penjahat, dan jangan sampai hal tersebut terjadi. Semoga ada Hikmah

Habib Muhammad Asyhari bin Masrukhan bin Rusdy Abdullah Al Adzomat Khon

Pengasuh Majelis Babul Ma’rifah

Sukoharjo – Jawa Tengah

January 2010